Jumat, 10 Juni 2011

Bersama Partai Menjarah Harta Negara


Jumat, 10/06/2011 11:55 WIB
Kolom Didik Supriyanto
Bersama Partai Menjarah Harta Negara (2)  
Didik Supriyanto - detikNews

Bersama Partai Menjarah Harta Negara (2)

Jakarta - Bayangkan, seorang Nazaruddin yang baru berumur 33 tahun, karir politiknya melejit, menjadi bendahara umum partai besar. Partai Demokrat, partai yang menang Pemilu 2009, partai yang didirikan oleh SBY, dan mengantarkannya ke kursi presiden selama dua periode.
Apa kehebatan Nazaruddin, sampai-sampai formatur hasil Munas Partai Demokrat Bandung, menunjuknya sebagai bendahara umum? Loyalitasnya belum teruji, mengingat pada Pemilu 2004 dia adalah calon anggota legeslatif dari Partai Persatuan Pembangunan.

Nazaruddin masih bau kencur, belum paham seluk beluk dunia politik. Catatan aktivismenya juga tidak jelas. Mungkin tidak harus sementereng Anas Urbaningrung, yang mantan Ketua Umum PB HMI, tetapi paling tidak jejak keormasan pemuda-mahasiswa, mesti jelas. Pengusaha hebat? Tidak juga, karena kalangan dunia usaha tidak mengenalinya.

Kelebihan Nazaruddin adalah kehebatannya dalam menggalang dana. Setidaknya itu dibuktikan ketika dia berhasil menggalang dana untuk kampanye Anas yang sedang running ketua umum partai. Dalih ini pula yang diyakinkan anggota formatur kepada Anas untuk mengangkatnya menjadi bendahara umum.

Partai memang butuh orang-orang seperti Nazaruddin, pandai menggalang dana. Partai tidak mungkin hidup tanpa uang, mulai urusan administrasi, kampanye sampai lobi-lobi, butuh uang. Dana harus digalang dari berbagai sumber, karena partai gagal menarik iuran dari anggota. Bagaimana anggota mau membayar iuran, wong mereka tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari partai?

Di situlah pentingnya keahlian Nazaruddin. Apalagi Partai Demkorat tidak memiliki pengusaha kaya, macam Aburizal Bakrie di Golkar, atau Arifin Panigoro di PDIP (dulu). Namun 'lahan ekonomi' untuk dikelola Nazaruddin terbentang luas. Sebab Partai Demokat tidak hanya menjadi pemilik kursi terbanyak di DPR, tetapi juga memiliki presiden.

Nazaruddin bisa memainkan perannya sebagai pengumpul dana di tengah proses pembahasan anggaran di DPR. Nazaruddin bisa menawarkan konsesi politik kepada pengusaha yang butuh perlindungan hukum, jaminan keselamatan, izin usaha, maupun perumusan kebijakan yang menguntungkan. Nazarudin bisa membantu memenangkan tender-tender proyek pemerintah.

Tentu saja Nazaruddin tidak sendirian, dia tidak memonopoli pemanfaatan pengelolaan dana negara. Dia bukan satu-satunya penawar konsesi dan peretas jalan menang tender. Semua partai mempunyai orang-orang macam Nazaruddin. Mereka berkeliaran di tempat-tempat strategis pengambilan kebijakan, dan tempat-tempat basah lalu-lalang uang.

Ya, karena pengambilan kebijakan dan pengelolaan dana negara ini dikuasai oleh orang-orang partai. Mereka duduk di lingkungan legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota), mereka juga mengusai jabatan eksekutif (presiden, menteri, gubernur dan bupati/walikota).

Jika pun banyak gubernur dan bupati/walikota bukan orang partai, namun sesungguhnya mereka dikendalikan orang partai. Mereka tidak mungkin menjadi kepala daerah kalau tidak dicalonkan oleh partai politik. Mereka memang sudah 'beli putus' berkas pencalonan, tetapi ketika mereka terpilih, mereka terpaksa kerjasama dengan orang partai yang duduk di DPRD.

Kalau begitu, kasihan dong sama PDIP, Partai Gerindra dan Partai Hanura, yang tidak terlibat duduk di eksekutif. Mereka pasti tidak mendapat jatah. Mereka sulit ikut memanfaatkan pengelolaan dana negara. Mereka tidak punya sesuatu yang ditawarkan sebagai konsesi politik, apalagi memenangkan tender pemerintah. Mereka pasti tidak bergelimang uang.

Ya itulah nasib partai yang tidak ikut dalam pemerintahan. Tetapi jangan salah, mereka tetap mendapat bagian. Paling tidak mereka dapat 'uang dengar' atau 'uang tutup mulut'.

Bagaimana tidak, proses pembuatan kebijakan dan pengelolaan dana negara di DPR atau DPRD, mereka mengikutinya dengan baik. Mereka tahu bagaimana permainan dan siapa-siapa pemainnya. Mereka juga punya 'Nazaruddin-Nazarddin' untuk mengimbangai permainan Nazaruddin dari Partai Demokrat dan 'Nazaruddin-Nazaruddin' dari partai lain.

Tetapi mereka juga butuh uang. Dengan dalih, demi membiayai keuangan partai, dengan dalih demi menggalang dana kampanye, mereka pun bungkam terhadap praktik-praktik buruk yang disaksikannya. Mereka dibungkan dengan uang, mereka dapat bagian.

Di Negeri ini, bicara soal 'oposisi' hanya ada di alam pikiran Megawati. Jangankan anak buahnya, suami dan anaknya sendiri saja tidak bisa memahaminya. Bapak dan anak berkeras bergabung dalam pemerintahan demi mengeruk dana untuk partai. Meskipun dalam posisi yang sekarang ini partainya sesungguhnya juga dapat bagian. Hanya kurang banyak.

*) Didik Supriyanto
 adalah wartawan detikcom. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi detikcom.


Selasa, 07/06/2011 17:03 WIB
Kolom Didik Supriyanto
Bersama Partai Menjarah Harta Negara  
Didik Supriyanto - detikNews
Bersama Partai Menjarah Harta Negara

Jakarta - Sudah jelas, penyebab malapetaka Republik ini adalah korupsi, termasuk suap. Jika korupsi secara langsung mengambil kekayaan negara secara tidak sah, suap adalah menukar putusan atau tindakan atas nama negara atau atas nama hukum dan pemerintahan, demi keuntungan pribadi.
Korupsi dan suap menjadi lahan para pejabat negara, karena merekalah yang punya wewenang mengatur harta negara; merekalah yang punya otoritas untuk bertindak atas nama negara. Jangan salahkan rakyat atau pengusaha ikutan menyuap, sebab mereka melakukan itu karena terpaksa.

Jadi, sumber malapetaka negeri ini adalah para pejabat negara yang gemar melakukan korupsi dan menerima suap. Para pejabat negara itu adalah mereka yang duduk di legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Di lingkungan eksekutif, korupsi paling sering terjadi karena kendali harta negara dan pelaksanaan kebijakan ada di sini. Tidak hanya pejabat politik, yakni mereka yang terpilih secara periodik, presiden, menteri dan kepala daerah, tetapi juga pejabat birokrasi yang menguasai administrasi.

Pascatumbangnya Orde Baru, lokasi korupsi merambah ke legislatif. Sebab, kewenangan lembaga ini diperluas. Undang-undang takkan jadi kalau DPR tak membahasnya; demikian juga anggaran nasional takkan sah bisa DPR menolaknya. Padahal dalam soal perencanaan anggaran, kini DPR sampai bicara tingkat teknis: berapa nilai proyek, lalu siapa pelaksananya.

Bagaimana dengan yudikatif? Sejak dulu, lembaga peradilan sudah dikenal paling buruk reputasinya. Putusan hakim bisa diperjualbelikan. Kalau putusan hakim seperti itu, tentu saja juga menular ke jaksa yang bertindak sebagai penuntut dan polisi yang membuat berkas perkara. Mafia hukum menjerat mereka yang ingin menggapai keadilan.

Pada zaman Orde Baru dulu, banyak orang beranggapan korupsi merajalela karena para pejabat yang duduk di legislatif maupun eksekutif tidak akuntabel. Mereka tidak mempertanggungjawabkan tindakannya kepada rakyat, sebab mereka lebih takut pada atasannya.

Para anggota DPR maupun menteri, diangkat dan diberhentikan oleh presiden; demikian juga para anggota DPRD dan kepala daerah. Kekuasaan tersentralisasi di Istana Negara dan birokrasi sekretariat negara, sekretariat negara menjadi suprabirokrasi. Situasi ini akan berbalik, bila para pejabat publik tadi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.

Tetapi oh tetapi, setelah pemilu demokratis digelar tiga kali, korupsi semkin menjadi-jadi. Politik transaksional merajalela di lingkungan legislatif dan eksekutif. Rakyat dipersalahkan karena mereka selalu minta uang untuk memberikan suaranya. Padahal rakyat punya 'rasionaltias' sendiri: ngapain harus calon yang tidak jelas komitmen dan kemampuannya?

Jual beli suara yang awalnya dimulai para calon, apakah calon anggota legisaltif atau calon pejabat eksekutif, menjadi bumerang. Mereka terjerat utang. Yang gagal terpilih jatuh miskin, yang terpilih berkeras membayar utang dan menyiapkan pundi-pundi untuk pemilu berikutnya. Dari mana meraka akan dapat uang banyak kalau tidak memanfaatkan pengelolaan dana negara.

Sungguh ironis, pemilu kada pertama kali di republik ini terjadi di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang digelar 1 Juni 2005. Hasilnya kita sudah sama tahu, kepala daerah terpilihnya dijebloskan penjara oleh KPK. Setelah itu sejumlah kepala daerah menjadi tersangka dan terpidana.

Hingga Desember 2010 terdapat 17 gubernur yang jadi tersangka kasus korupsi. Sementara, dari 497 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat 138 bupati/walikota yang tersjerat kasus korupsi. Jumlah tersebut akan terus bertambah mengingat hasil audit BPK menunjukkan banyaknya pemerintah daerah yang tidak benar dalam mengelola dana negera.

Sementara jumlah anggota DPRD yang masuk penjara sudah tidak terhitung. Itu terjadi dalam situasi di mana jual beli perkara mudah dilakukan. Sudah terbukti, aparat kejaksaan dengan gampang mengubah status tersangka menjadi bebas, demikian juga para hakim.

Coba kalau semua kasus itu ditangani KPK dan diproses di pengadilan khusus tipikor. Bisa dibayangkan betapa sesaknya sel tahanan atau penjara. Ini dengan asumsi para petugas sel tidak gampang disogok. Kalau tidak, ya hukum takkan pernah bikin takut orang masuk penjara.

Bagaimana dengan tingkat nasional. Kondisinya lebih buruk. Hanya karena para pemainnya sudah semakin pintar, maka praktik korupsi dan suap menyuap, tidak bisa ditindak oleh aparat penegak hukum. Apa yang menimpa Partai Demokrat dengan Nazaruddinnya menunjukkan hal itu.

Masih banyak Nazarddin-Nazarddin yang lain, dan tentu saja Partai Demokrat bukan satu-satunya partai yang melindungi anggotanya yang korup. Sebab, partai juga menggantungkan dana dari mereka. Sebab di sini, partai bukanlah alat perjuangan sebagaimana digembar-gemborkan pendiri dan pengurusnya; partai adalah alat mencari kekuasaan, memupuk kekayaan.

*) Didik Supriyanto adalah wartawan detikcom. Tulisan ini tidak mencerminkan kebijakan redaksi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar